(Tugas ke 2 )
PERKEMBANGAN PENDIDIKAN PENDAHULUAN BELA
NEGARA.
Ø Perkembangan Di Era Reformasi.
Di Era reformasi ini pendidikan
pendahuluan bela negara membawa banyak perubahan di hampir segala bidang di
Republik Indonesia. Perubahan yang dibaw aoleh pendidikan bela negara diantara
ada yang positif dan bermanfaat bagi masyarakat, tapi tampaknya ada juga yang
negatif dan pada gilirannya akan merugikan bagi keutuhan wilayah dan kedaulatan
Negara Kesatuan Republik Indonesia. Suasana keterbukaan pasca pemerintahan Orde
Baru menyebabkan arus informasi dari segala penjuru dunia seolah tidak
terbendung. Berbagai ideologi, mulai dari ekstrim kiri sampai ke ekstrim kanan,
menarik perhatian bangsa kita, khususnya generasi muda, untuk dipelajari,
dipahami dan diterapkan dalam upaya mencari jati diri bangsa setelah selama
lebih dari 30 tahun merasa terbelenggu oleh sistem pemerintahan yang otoriter.
Selain itu pendidikan bela negara juga
mempunyai dampak buruk. Salah satu dampak buruk dari reformasi adalah
memudarnya semangat nasionalisme dan kecintaan pada negara. Perbedaan
pendapat antar golongan atau ketidaksetujuan dengan kebijakan pemerintah adalah
suatu hal yang wajar dalam suatu sistem politik yang demokratis. Namun berbagai
tindakan anarkis, konflik SARA dan separatisme yang sering terjadi dengan
mengatas namakan demokrasi menimbulkan kesan bahwa tidak ada lagi semangat
kebersamaan sebagai suatu bangsa. Kepentingan kelompok, bahkan kepentingan
pribadi, telah menjadi tujuan utama. Semangat untuk membela negara seolah telah
memudar.
Bela Negara biasanya selalu dikaitkan
dengan militer atau militerisme, seolah-olah kewajiban dan tanggung jawab untuk
membela negara hanya terletak pada Tentara Nasional Indonesia. Padahal
berdasarkan Pasal 30 UUD 1945, bela negara merupakan hak dan kewajiban setiap
warga negara Republik Indonesia. Bela negara adalah upaya setiap warga negara
untuk mempertahankan Republik Indonesia terhadap
ancaman baik dari luar maupun dalam negeri.
Ø Hakekat Ancaman Terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia
v Ancaman Dari Luar
Dengan berakhirnya Perang Dingin pada
awal tahun 1990an, maka ketegangan regional di dunia umumnya, dan di
kawasan Asia Tenggara khususnya dapat dikatakan berkurang. Meskipun masih
terdapat potensi konflik khususnya di wilayah Laut Cina Selatan, misalnya
sengketa Kepulauan Spratly yang melibatkan beberapa negara di kawasan ini, masalah
Timor Timur yang menyebabkan ketegangan antara Indonesia dan Australia, dan
sengketa Pulau Sipadan/Ligitan antara Indonesia dan Malaysia, namun
diperkirakan semua pihak yang terkait tidak akan menyelesaikan masalah tersebut
melalui kekerasan bersenjata. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa dalam
jangka waktu pendek ancaman dalam bentuk agresi dari luar relatif kecil. Potensi
ancaman dari luar tampaknya akan lebih berbentuk upaya menghancurkan moral dan
budaya bangsa melalui disinformasi, propaganda, peredaran narkotika dan
obat-obat terlarang, film-film porno atau berbagai kegiatan kebudayaan asing
yang mempengaruhi bangsa Indonesia terutama generasi muda, yang pada gilirannya
dapat merusak budaya bangsa. Potensi ancaman dari luar lainnya adalah dalam
bentuk "penjarahan" sumber daya alam Indonesia melalui eksploitasi
sumber daya alam yang tidak terkontrol yang pada gilirannya dapat merusak
lingkungan atau pembagian hasil yang tidak seimbang baik yang dilakukan secara
"legal" maupun yang dilakukan melalui kolusi dengan pejabat
pemerintah terkait sehingga meyebabkan kerugian bagi negara.
Semua potensi ancaman tersebut dapat diatasi dengan
meningkatkan Ketahanan Nasional melalui berbagai cara, antara lain:
a. Pembekalan
mental spiritual di kalangan masyarakat agar dapat menangkal pengaruh- pengaruh budaya
asing yang tidak sesuai dengan norma-norma kehidupan bangsa Indonesia
b. Upaya
peningkatan perasaan cinta tanah air (patriotisme) melalui pemahaman dan penghayatan (bukan
sekedar penghafalan)sejarah perjuangan bangsa.
c. Pengawasan
yang ketat terhadap eksploitasi sumber daya alam nasional serta terciptanya
suatu pemerintahan yang bersih dan berwibawa (legitimate, bebas KKN, dan konsistenmelaksanakan peraturan/undang-undang).
d. Kegiatan-kegiatan
lain yang bersifat kecintaan terhadap tanah air serta menanamkan semangat
juang untuk membela negara, bangsa dan tanah air serta mempertahankan Panca Sila
sebagai ideologi negara dan UUD 1945 sebagai landasan berbangsa dan
bernegara.
e. Untuk
menghadapi potensi agresi bersenjata dari luar, meskipun kemungkinannya relatif sangat
kecil, selain menggunakan unsur kekuatan TNI, tentu saja dapat
menggunakan unsur Rakyat Terlatih (Ratih) sesuai dengan doktrin Sistem
Pertahanan Semesta.
Dengan doktrin Ketahanan Nasional itu,
diharapkan bangsa Indonesia mampu mengidentifikasi berbagai masalah
nasional termasuk ancaman, gangguan, hambatan dan tantangan terhadap
keamanan negara guna menentukan langkah atau tindakan untuk menghadapinya.
v Ancaman Dari Dalam
Meskipun tokoh-tokoh LSM banyak yang
menyatakan hal ini sebagai sesuatu yang mengada-ada, pada kenyataannya potensi
ancaman yang dihadapi negara
Republik Indonesia tampaknya akan lebih banyak muncul
dari dalam negeri, antara lain dalam bentuk:
a. disintegrasi
bangsa, melalui gerakan-gerakan separatis berdasarkan sentimen kesukuan atau
pemberontakan akibat ketidakpuasan daerah terhadap kebijakan pemerintah pusat
b. keresahan
sosial akibat ketimpangan kebijakan ekonomi dan pelanggaran Hak Azasi Manusia yang pada
gilirannya dapat menyebabkan huru-hara/kerusuhan massa
c. upaya
penggantian ideologi Panca Sila dengan ideologi lain yang ekstrim atau yang
tidak sesuai dengan jiwa dan semangat perjuangan bangsa Indonesia
d. potensi
konflik antar kelompok/golongan baik akibat perbedaan pendapat dalam masalah politik, maupun
akibat masalah SARA e. makar atau penggulingan pemerintah yang sah dan
konstitusional Di masa transisi ke arah demokratisasi sesuai dengan
tuntutan reformasi saat ini, potensi konflik antar kelompok/golongan dalam
masyarakat sangatlah besar.perbedaan pendapat yang justru adalah esensi dari
demokrasi malah merupakan potensi konflik yang serius apabila salah satu pihak
berkeras dalam mempertahankan pendiriannya sementara pihak yang lain berkeras
memaksakan kehendaknya. Dalam hal ini, sebenarnya cara yang terbaik
untuk mengatasi perbedaan pendapat adalah musyawarah untuk mufakat. Namun
cara yang sesungguhnya merupakan ciri khas budaya bangsa Indonesia itu
tampaknya sudah dianggap kuno atau tidak sesuai lagi di era reformasi ini.
Masalahnya, cara pengambilan suara
terbanyakpun (yang dianggap sebagai cara yang paling demokratis dalam
menyelesaikan perbedaan pendapat) seringkali menimbulkan rasa tidak puas bagi
pihak yang "kalah", sehingga mereka memilih cara pengerahan
massa atau melakukan tindak kekerasan untuk memaksakan kehendaknya. Tidak
adanya kesadaran hukum di sebagian kalangan masyarakat serta ketidak pastian
hukum akibat campur tangan pemerintah dalam sistem peradilan juga merupakan
potensi ancaman bagi keamanan dalam negeri. Apalagi di masa transisi saat
ini ada kelompok/golongan yang secara terbuka menyatakan tidak mengakui
Peraturan/perundangan yang dikeluarkan oleh pemerintah transisi yang berkuasa
saat ini. Pelecehan terhadap hukum/undang-undang ini jelas menimbulkan
kekacauan/anarki dan merupakan potensi konflik yang serius.
Contoh yang paling nyata adalah insiden
Semanggi di mana para pengunjuk rasa yang jelas-jelas tidak mematuhi UU no
9/1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum akhirnya bentrok
dengan aparat keamanan yang justru ingin menegakkan hukum. Terlepas dari
berbagai faktor psikologis dan politis yang memicu terjadinya insiden tersebut,
kenyataannya adalah seandainya semua pihak menyadari pentingnya kepatuhan
terhadap hukum, tentunya insiden itu tidak akan terjadi. Keragu-raguan aparat
penegak hukum (kepolisian, kejaksaan maupun pengadilan) dalam menangani
berbagai tindak pidana korupsi yang melibatkan pejabat tinggi negara juga
potensial untuk menyulut huru-hara akibat kekecewaan masyarakat. Tidak
adanya kesadaran hukum, di samping aspek sosial-psikologis yang perlu diteliti
lebih lanjut dan dicarikan penyelesaiannya, juga menyebabkan sering
timbulnya tawuran antar warga atau tawuran antar pelajar yang pada gilirannya
menimbulkan keresahan masyarakat dan menyebabkan instabilitas keamanan
lingkungan.Maka, sosialisasi berbagai peraturan dan perundang-undangan serta
penegakan hukum yang tegas, adil dan tanpa pandang bulu adalah satu-satunya
jalan untuk mengatasi potensi konflik ini. Potensi ancaman dari dalam negeri
ini perlu mendapat perhatian yang serius mengingat instabilitas internal
seringkali mengundang campur tangan pihak asing, baik secara langsung
maupun tidak langsung, untuk kepentingan mereka.
Ø Memudarnya Nasionalisme dan Kecintaan Pada Bangsa dan Tanah Air
Sebagai produk dari faktor politik,
ekonomi, sosial dan intelektual pada suatu tahapan sejarah, nasionalisme adalah
"suatu kondisi pikiran, perasaan atau keyakinan sekelompok manusia pada
suatu wilayah geografis tertentu, yang berbicara dalam bahasa yang sama,
memiliki kesusasteraan yang mencerminkan aspirasi bangsanya, terlekat pada adat
dan tradisi bersama, memuja pahlawan mereka sendiri dan dalam kasus-kasus
tertentu menganut agama yang sama"
Nasionalisme adalah produk langsung dari
konsep bangsa. Ia merujuk kepada perasaan "kasih sayang" pada satu
sama lain yang dimiliki oleh anggota bangsa itu dan rasa kebanggaan yang
dimiliki oleh bangsa itu sendiri. Dia adalah semangat kebersamaan yang
bertujuan memelihara kesamaan pandangan, kesamaan masyarakat dan kesamaan
bangsa dalam suatu kelompok orang-orang tertentu. Dia adalah suatu idelogi
abstrak yang mengakui kebutuhan akan suatu pengalaman bersama, kebudayaan
bersama, dasar sejarah, bahasa bersama dan lingkungan politik yang homogen.
Nasionalisme dapat diungkapkan dengan berbagai cara, misalnya keinginan untuk
mencapai taraf kehidupan yang tinggi, keinginan untuk memenangkan medali emas
lebih banyak dari negara lain dalam Olympiade, atau bahkan menundukkan wilayah
lain yang berbatasan.
Akhir-akhir ini ditengarai bahwa semangat nasionalisme
dan patriotisme, khususnya di kalangan generasi muda Indonesia telah memudar.
Beberapa indikasi antara lain adalah munculnya
semangat kedaerahan seiring dengan diberlakukannya otonomi daerah;
ketidakpedulian terhadap bendera dan lagu kebangsaan; kurangnya apresiasi
terhadap kebudayaan dan kesenian daerah; konflik antar etnis yang mengakibatkan
pertumpahan darah.
Ketidak mampuan pemerintah pasca Orde
Baru untuk mengatasi krisis multidimensional sering dijadikan "kambing
hitam" penyebab memudarnya nasionalisme. Banyak orang yang tidak merasa
bangga menjadi orang Indonesia akibat citra buruk di dunia internasional
sebagai "sarang koruptor" dan "sarang teroris". Banyak
orang yang enggan membela negara dengan alasan "saya dapat dari
negara?" Presiden John F. Kennedy dari Amerika Serikat pernah
mengatakan, "don't ask what your country can do for you, ask what can you
do for your country!" (jangan tanyakan apa yang dapat dilakukan oleh
negaramu untukmu, tapi tanyakan apa yang dapat kamu lakukan untuk negaramu!)
Semangat seperti itu seharusnya juga berlaku bagi semua warga negara Indonesia.
Ada semacam kekeliruan pandangan bahwa negara identik dengan pemerintah. Setiap
warga negara boleh saja tidak setuju dengan kebijakan pemerintah, tapi dia
tetap berhak dan wajib membela negaranya.
Memudarnya nasionalisme dan patriotisme
mungkin juga disebabkan oleh tiadanya penghayatan atas arti perjuangan para
pahlawan kemerdekaan. Perayaan hari Kemerdekaan setiap tanggal 17 Agustus
selama berpuluh tahun terkesan hanya sebagai ritual upacara bendera yang
membosankan. Tradisi "hura-hura" lomba makan krupuk dan
panjat pinang, panggung hiburan yang dari tahun ke tahun hanya diisi oleh
vocal group remaja setempat di setiap RT di seluruh tanah air dan gapura yang
mencantumkan slogan-slogan kosong di setiap ujung gang. Yang lebih
memprihatinkan, di tengah krisis ekonomi yang berlarut-larut ini, hari
Kemerdekaan dirayakan dengan kembang api. Betapa tidak nasionalis dan tidak
patriotisnya, membakar uang puluhan juta rupiah sementara sebagian besar rakyat
tengah menderita. Sedikit sekali kelompok masyarakat yang merayakan hari
Kemerdekaan dengan acara syukuran dan do'a bersama mengingat jasa para pahlawan
yang telah mengorbankan nyawa mereka untuk mencapai kemerdekaan ini.
Demikian pula Sumpah Pemuda, yang
sebenarnya adalah modal awal persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia jauh
sebelum kemerdekaan, kini seolah hanya merupakan pelajaran sejarah yang tidak
pernah dihayati dan diamalkan. Munculnya gerakan separatisme dan konflik antar
etnis membuktikan tidak adanya kesadaran
bahwa kita adalah satu tanah air, satu bangsa, dan satu bahasa. Harus diakui
bahwa ada faktor-faktor politis, ekonomi dan psikologis yang menyebabkan
gerakan-gerakan separatis maupun konflik antar etnis itu, misalnya masalah
ketidak adilan sosial dan ekonomi, persaingan antar kelompok dan sebagainya.
Kurang tanggapnya pemerintah baik di pusat maupun daerah untuk mengantisipasi
atau segera menangani berbagai permasalahan itu menyebabkan tereskalasinya
suatu masalah kecil menjadi konflik yang berkepanjangan.
Ø Bela Negara Sebagai Hak dan Kewajiban Warga Negara
v Konsep Bela Negara
Pasal 30 UUD 1945 menyebutkan bahwa
"tiap-tiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam usaha pembelaan
negara".Konsep Bela Negara dapat diuraikan yaitu secara fisik maupun
non-fisik. Secara fisik yaitu dengan cara "memanggul bedil"
menghadapi serangan atau agresi musuh. Bela Negara secara fisik dilakukan untuk
menghadapi ancaman dari luar. Sedangkan Bela Negara secara non-fisik dapat
didefinisikan sebagai "segala upaya untuk mempertahankan negara kesatuan
Republik Indonesia dengan cara meningkatkan kesadaran berbangsa dan bernegara,
menanamkan kecintaan terhadap tanah air serta berperan aktif dalam memajukan
bangsa dan negara".
v Bela Negara Secara Fisik
Keterlibatan warga negara sipil dalam
upaya pertahanan negara merupakan hak dan kewajiban konstitusional setiap warga
negara Republik Indonesia. Tapi, seperti diatur dalam UU no 3 tahun 2002
dan sesuai dengan doktrin Sistem Pertahanan Semesta, maka pelaksanaannya
dilakukan oleh Rakyat Terlatih (Ratih) yang terdiri dari berbagai unsur
misalnya Resimen Mahasiswa, Perlawanan Rakyat, Pertahanan Sipil, Mitra Babinsa,
OKP yang telah mengikuti Pendidikan Dasar Militer dan lainnya. Rakyat Terlatih
mempunyai empat fungsi yaitu Ketertiban Umum, Perlindungan Masyarakat, Keamanan
Rakyat dan Perlawanan Rakyat. Tiga fungsi yang disebut pertama umumnya
dilakukan pada masa damai atau pada saat terjadinya bencana alam atau darurat
sipil, di mana unsur-unsur Rakyat Terlatih membantu pemerintah daerah dalam
menangani Keamanan dan Ketertiban Masyarakat, sementara fungsi Perlawanan
Rakyat dilakukan dalam keadaan darurat perang di mana Rakyat Terlatih merupakan
unsur bantuan tempur bagi pasukan reguler TNI dan terlibat langsung di medan
perang.
Apabila keadaan ekonomi nasional telah
pulih dan keuangan negara memungkinkan, maka dapat pula dipertimbangkan
kemungkinan untuk mengadakan Wajib Militer bagi warga negara yang memenuhi
syarat seperti yang dilakukan di banyak negara maju di Barat. Mereka yang
telah mengikuti pendidikan dasar militer akan dijadikan Cadangan Tentara
Nasional Indonesia selama waktu tertentu, dengan masa dinas misalnya sebulan
dalam setahun untuk mengikuti latihan atau kursus-kursus penyegaran. Dalam
keadaan darurat
perang, mereka dapat dimobilisasi dalam waktu singkat
untuk tugas-tugas tempur maupun tugas-tugas teritorial. Rekrutmen dilakukan
secara selektif, teratur dan berkesinambungan. Penempatan tugas dapat
disesuaikan dengan latar belakang pendidikan atau profesi mereka dalam
kehidupan sipil misalnya dokter ditempatkan di Rumah Sakit Tentara, pengacara
di Dinas Hukum, akuntan di Bagian Keuangan, penerbang di Skwadron Angkutan, dan
sebagainya. Gagasan ini bukanlah dimaksudkan sebagai upaya militerisasi
masyarakat sipil, tapi memperkenalkan "dwi-fungsi sipil". Maksudnya
sebagai upaya sosialisasi "konsep bela negara" di mana tugas
pertahanan keamanan negara bukanlah semata-mata tanggung jawab TNI, tapi
adalah hak dan kewajiban seluruh warga negara Republik Indonesia.
v Bela Negara Secara Non-Fisik
Di masa transisi menuju masyarakat madani sesuai tuntutan
reformasi saat ini, justru kesadaran bela negara ini perlu ditanamkan guna
menangkal berbagai potensi ancaman, gangguan, hambatan dan tantangan baik
dari luar maupun dari dalam seperti yang telah diuraikan di atas. Sebagaimana
telah diungkapkan sebelumnya, bela negara tidak selalu harus berarti "memanggul
bedil menghadapi musuh". Keterlibatan warga negara sipil dalam bela negara
secara non-fisik dapat dilakukan dengan berbagai bentuk, sepanjang masa dan
dalam segala situasi, misalnya dengan cara:
a. meningkatkan
kesadaran berbangsa dan bernegara, termasuk menghayati arti demokrasi dengan
menghargai perbedaan pendapat dan tidak memaksakan kehendak
b. menanamkan
kecintaan terhadap tanah air, melalui pengabdian yang tulus kepada masyarakat
c. berperan aktif
dalam memajukan bangsa dan negara dengan berkarya nyata (bukan
retorika)
d. meningkatkan
kesadaran dan kepatuhan terhadap hukum/undang-undang dan menjunjung tinggi Hak
Azasi Manusia
e. pembekalan
mental spiritual di kalangan masyarakat agar dapat menangkal pengaruh- pengaruh budaya
asing yang tidak sesuai dengan norma-norma kehidupan bangsa Indonesia dengan
lebih bertaqwa kepada Allah swt melalui ibadah sesuai agama/kepercayaan masing- masing.
Ø SUMBER/REFERENSI :